OPINI  

Bayi Menjadi Korban Perdagangan Orang, Negara “Jangan Gagal Fokus”

Penulis: Septiana Hasmita, S. Psi

Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri membongkar sindikat tindak pidana perdagangan bayi jaringan Sulawesi Tengah (Sulteng)-Bekasi. Dirtipidum Bareskrim, Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan, pengungkapan ini berawal dari laporan di Polda Sulteng soal seorang ibu berinisial SS melaporkan penculikan anaknya atas nama A.

Namun ternyata setelah diselidiki, berdasarkan rekaman CCTV Bandara Muatiara Sis Al-Jufri menunjukkan, SS menjual bayinya ke perempuan yang berinisial F dari Sulteng, bayi tersebut dibawa ke Jakarta dan selanjutkan diterbangkan ke Kepulauan Bangka Belitung menuju tempat orang tua pengadopsi bayi sekaligus yang membeli bayi A ini senilai 25 juta. SS, ibu bayi, menerima uang 12 juta dari penjualan bayi yang merupakan anaknya sendiri.

Berdasarkan hal tersebut, Polda Sulteng kemudian mengembangkan penyelidikan. Pada tanggal 22 Juni 2023, penyidik Polda Sulteng berkoordinasi dengan Sub Satgas Gakkum TPPO Polri dan Polres Metro Kota Bekasi untuk melakukan penggeledahan di sebuah apartemen di daerah Bekasi yang diduga sebagai tempat penampungan bayi sebelum nantinya dijual ke calon pembeli.

Saat digeledah, polisi mengamankan seorang tersangka atas nama Y beserta dua bayi laki-laki (bayi A dan B) yang masing-masing berusia 2 minggu dan 1 bulan. Dalam proses pengembangannya, kepolisian menangkap tiga tersangka lain berinisial SA, E, dan DM. Y, SA, E, dan DM merupakan sindikat perdagangan bayi dan anak antar pulau. Sejak 2022, sindikat ini telah menjual total 16 bayi yang masih berusia 2 minggu hingga 1 tahun (Kompas.com, 27-06-2023).

Baca Juga  Opini: Antara Qawwamah dan KDRT

Jangan Gagal Fokus

Melalui kasus TTPO ini, sudah seharusnya menjadi momen bagi negara untuk bermuhasah mengenai pengurusan rakyat selama ini. Kasus perdagangan orang dengan korban bayi-bayi bermodus adopsi ilegal jangan membuat negara “gagal fokus” hanya pada penindakan pelakunya saja, tetapi negara juga harus mengevaluasi mengapa kasus ini terus berulang.

Upaya penindakan dengan pemenjaraan jangan sampai menjadi justifikasi oleh negara bahwa negara telah hadir menangani kasus perdagangan bayi. Padahal, penindakan yang didasarkan pada UU No. 35 Tahun 2024 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) masih jauh dari cukup. Bahkan, penindakan dengan kedua undang-undang ini seakan hanya mengedepankan kepentingan dan hak-hak korban saja dalam kerangka Hak Asasi Manusia (HAM).

Penegakan hukum pada pelaku dengan menggunakan UU Perlindungan Anak maupun dengan UU TPPO dianggap telah menyelesaikan kasus kejahatan, sebab kasus sudah diadili dan pelakunya sudah ditangkap. Namun, intervensi seperti ini sebenarnya telah mengabaikan faktor pendorong (push factor) kejahatan dan melalaikan upaya pencegahannya. Pasalnya, yang perlu diingat sebagai penekanan, para pelakunya termasuk orang tua dari korban yang telah hilang fitrahnya sebagai orang tua karena kesulitan ekonomi.

Baca Juga  Indonesia Darurat Korupsi, Apa Solusinya?

Kondisi kemiskinan rakyat telah menjadi pendorong (push factor) dalam berbagai kejahatan di negara ini. Dalam perekonomian demokrasi memang meniscayakan kebebasan kepemilikan. Kebebasan kepemilikan inilah yang membuat negeri yang kaya akan sumber daya alam tidak dapat berdikari. Sumber daya alam negeri diserahkan pengelolaannya pada asing, aseng, dan korporasi lokal, sementara masyarakat hanya gigit jari, nelongso dalam kemiskinan.

Kesalahan tata kelola dalam perekonomian ini pula yang membuat terbatasnya lapangan kerja, memarjinalkan hak-hak pekerja, sebab sebagaimana yang dipahami dalam ekonomi demokrasi memang sangat kental keberpihakan terhadap korporasi yang dianggap sebagai penyumbang pajak terbesar. Hal ini juga yang turut menyumbangkan tingginya angka kemiskinan di negeri ini.

Rakyat mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan hidup bahkan pada ranah kebutuhan primer. Akhirnya, masyarakat gelap mata dan menghalalkan segala cara hanya demi cuan. Ditambah negara pun tidak peduli dengan masalah keimanan masyarakat. Keimanan dan ketakwaan masyarakat dianggap sebagai ranah privasi individu. Keimanan masyarakat yang lemah dan kondisi ekonomi yang sulit, wajarlah, tindakan keji yang mencederai martabat sebagai manusia pun dilakukan, seperti perdagangan bayi.

Di sisi lain, penindakan dengan UU Perlindungan Anak dan UU TPPO telah memaksakan norma hukum dengan standar baru, yaitu HAM kepada masyarakat. Standar baru ini akan menggeser standar yang sudah ada dari norma agama, termasuk Islam. Dengan kata lain, penindakan ini sebenarnya lebih pada menguatkan norma hukum berdasarkan HAM dibandingkan menyelesaikan masalah kejahatan itu sendiri. Terbukti, kasus kejahatan perdagangan orang selalu ada, bahkan makin banyak.

Baca Juga  Opini: Suara Adzan Diatur, Syiar Islam Dikekang

Namun, mirisnya masyarakat makin meninggalkan norma Islam dalam memandu perbuatannya. Masyarakat jadi hilang rasa “takut dosa” hingga mudah melakukan kejahatan. Jadi masyarakat kita lebih fasih bicara hak asasi manusia dibanding bicara tentang Islam. Ironis untuk masyarakat yang mayoritas muslim. Penyelesaian dengan menitikberatkan penindakan pemenjaraan pelaku saja sesuai UU Perlindungan Anak dan UU TPPO tanpa menyelesaikan faktor pendorong kejahatan tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan, cara ini seakan menutupi kegagalan negara yang seharusnya mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya.

Saatnya Berbenah

Oleh karenanya, sudah saatnya negara dan semua elemennya berbenah dengan menyelenggarakan pemerintahan yang berpihak pada rakyat, melayani semua kebutuhan dasar dan sekunder rakyat dengan mudah, memberikan keadilan, dan rasa aman.

Negara juga harus berbenah dari sisi adopsi tata aturan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya. Telah terbukti tata aturan ekonomi kapitalisme dan demokrasi telah menyengsarakan rakyat negeri ini. Saatnya mengambil syariat Islam. Islam adalah petunjuk dan solusi kehidupan dari Allah Swt., Rabb manusia, sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 89:

“Dan Kami turunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *