Oleh : Ummu Syakira
Mendambakan rumah tangga bahagia dan damai adalah impian setiap pasangan namun faktanya menjalani biduk rumah tangga penuh dengan intrik. Ketidak mampuan pasangan mengelola persoalan disebabkan karna minimnya ilmu, keegoisan dan beratnya tantangan kehidupan tak jarang menuai percekcokan antara pasutri.
Seperti yang terjadi di depok baru-baru ini Aksi kejam dan biadab dilakukan seorang suami kepada istri dan anaknya di sebuah rumah di Kelurahan Jatijajar, Kecamatan Tapos, Kota Depok, Jawa Barat.
Pelaku berinisial RN (31) tega menganiaya istrinya berinisial NI (31) dan membunuh anak perempuannya berinisial KPC (13) menggunakan parang yang motifnya karna pelaku merasa tidak dihargai. Ada juga seorang suami masih di depok menonjok istrinya berulang-ulang didepan anaknya yang masih balita dipicu karna masalah utang bank meski kedua kasus tersebut tidak mengalahkan viralnya KDRT yang dialami oleh pedangdut Lesti kejora namun jelas menambah panjang daftar KDRT di negara kita ini.
Sungguh, maraknya suami atau ayah menganiaya istri dan anaknya menunjukkan hilangnya fungsi qawwamah (kepemimpinan) laki-laki. Padahal, saat mistaqan ghalidza (ijab kabul, ed.) itu terucap dari lisan sang suami, ia telah diserahkan tanggung jawab besar oleh Allah Swt. Yaitu menjadi pemimpin keluarganya.
Ada banyak faktor penyebabnya, mulai dari tingginya beban hidup, gaya hidup yang amat buruk, lemahnya kemampuan mengendalikan diri, dan lain-lain. Tidak bisa dimungkiri, ekonomi yang sangat terpuruk bisa menyebabkan keretakan rumah tangga makin besar. Beban hidup yang jauh dari kata sejahtera menyebabkan banyak hak dari anak dan istri tidak tertunaikan.
Misalnya, suami jarang pulang ke rumah lantaran harus banting tulang mencari nafkah. Kondisi rumah yang dipenuhi banyak tuntutan juga menyebabkan sang suami tidak betah. Akhirnya, untuk menghindari stres di rumah—karena stres di tempat kerja pun sudah menumpuk—para ayah lebih nyaman di luar rumah, nongkrong di kafe atau bahkan menghabiskan sisa waktu dengan bermain game online.
Jika sang suami sudah tidak betah di rumah, bukankah ini satu tahap menuju terbukanya pintu kemaksiatan? Tidak heran jika tahun ini, Kota Bandung, misalnya, angka tertinggi pengidap HIV/AIDS adalah ibu rumah tangga lantaran para suaminya “jajan” sembarangan di luar. Na’udzubillah!
Gaya hidup juga sangat buruk. Sudahlah jauh dari agama, para ayah harus pergi kerja sebelum anak-anaknya bangun dan pulang setelah anak-anaknya tertidur. Saat akhir pekan juga malah diisi dengan liburan nirfaedah, membuang-buang uang tanpa ada bonding terhadap anak-anaknya.
Itulah kisah para suami dan ayah yang bekerja. Yang bekerja serabutan dan pengangguran pun tidak jauh beda. Jangankan mengajak anak laki-lakinya untuk salat Subuh berjemaah di masjid, bangunnya saja kesiangan bahkan setelah anak-anak pergi sekolah. Sang suami juga terkadang merasa tanggung jawabnya hilang tatkala istrinya yang menjadi tulang punggung keluarga.
Bukankah ini semua bisa mengantarkan pada keretakan rumah tangga? Sang istri tentu menanggung beban yang amat berat. Sudahlah dituntut “mencari nafkah”, mereka juga dituntut untuk mengatur rumah dan membimbing anak-anak. Sudah menjadi kebiasaan, jika anak bodoh atau terlibat kenakalan remaja, pertama kali yang mendapat cap buruk itu adalah ibunya
Para ayah telah benar-benar kehilangan fungsi qawwamah, sedangkan ketakwaan bukan lagi menjadi pakaian keseharian mereka. Wajar jika pada akhirnya mereka lemah mengendalikan diri. Para ayah dan suami tidak segan memperdaya istri dan anak-anaknya. Inilah penyebab makin maraknya KDRT yang bahkan bisa berujung kematian.
Namun demikian, KDRT bukan hanya dipicu oleh hilangnya peran qawwamah pada laki-laki, melainkan juga dipicu oleh fungsi ummun wa rabbatul bait pada sang istri. Peran menjalankan fungsi sebagai ummun (ibu) yang mendampingi penuh anak-anaknya tentu menjadi makin berat apabila turut menjadi “tulang punggung”. Begitu pun fungsinya sebagai rabbatul bait (manajer rumah tangga), tenaga dan pikirannya sudah habis di luar rumah sehingga ia absen dalam pengaturan rumah.
Padahal, seorang ibu seharusnya menjadi sandaran semua anggota keluarganya. Para ayah yang lelah bekerja akan merasa nyaman saat bertemu istrinya. Begitu pun anak-anaknya, senantiasa mendapatkan kasih sayang yang kelak menjadi bekal dalam mengarungi kehidupan mereka. Namun, lagi-lagi, fungsi ini hilang.
Ketaatan para istri juga luntur sebab merasa telah menjadi “tulang punggung” keluarga. Bukankah ini pula yang mengantarkan pada tingginya KDRT? Para istri yang tidak bekerja pun bukan berarti aman dari KDRT. Berbagai tuntutan yang begitu besar untuk kenyamanan hidup juga menyebabkan para suami stres hingga berujung KDRT. Lihatlah kasus suami memutilasi istri di Karawang pada 2017 lalu, disebabkan oleh tidak sabarnya sang suami pada beban tuntutan istri dan keluarga.
Namun demikian, kondisi yang amat memprihatinkan ini bukan semata lahir dari fungsi suami atau istri yang buruk. Ini bukanlah problem individu, melainkan sistemis. Misalnya saja, sulitnya ayah untuk bekerja dan kemudahan ibu bekerja. Bukankah ini lahir dari sistem kapitalisme yang menginginkan buruh murah? Kita ketahui, upah perempuan memang jauh lebih rendah dari laki-laki, bukan?
Upaya mendorong para ibu untuk keluar rumah juga lahir dari feminisme, paham yang lahir dari sudut pandang sekularisme. Walhasil, ayah dan ibu tidak mengenal agama, akhirnya mengelola rumah tangga tanpa aturan agama, Jadilah KDRT makin marak.
Mengapa kondisi ini kerap terjadi?
Din Islam telah memberikan aturan khusus bagi suami dan istri atau ayah dan ibu untuk mengemban tanggung jawab kepemimpinan dalam rumah tangga. Suami sebagai kepala dan pemimpin keluarga, sedangkan istri sebagai pemimpin rumah suaminya sekaligus menjadi pemimpin bagi anak-anaknya.
Rasulullah saw. Bersabda, sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu Umar, “Setiap kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir (kepala negara) adalah pemimpin rakyatnya, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak-anaknya yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang pelayan adalah pemimpin atas harta tuannya, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Ingatlah setiap kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR Bukhari Muslim)
Peran kepemimpinan dalam hadis ini sama sekali tidak menunjukkan adanya legitimasi atau superioritas derajat yang satu atas yang lain. Pemimpin negara tidak dianggap lebih mulia dari rakyatnya. Seorang laki-laki sebagai suami tidak pula dianggap lebih mulia dibandingkan dengan istri dan anak-anaknya.
Kepemimpinan adalah tanggung jawab dan amanah yang dibebankan oleh Allah Swt. Untuk dilaksanakan, selanjutnya dipertanggungjawabkan sebagai sebuah amal ibadah.
Islam menetapkan peran dan fungsi suami adalah menjadi pemimpin rumah tangga yang memiliki kewajiban untuk menafkahi dan melindungi seluruh anggota keluarganya. Ia adalah nakhoda yang akan mengendalikan ke mana bahtera akan diarahkan, dan kepemimpinan tersebut telah Allah amanahkan ke pundak suami.
[ الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ … [النساء : 34
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS An-Nisa [4]: 34)
Sebagai pemimpin keluarga, suami berkewajiban memberi nafkah yang layak kepada istri dan anak-anaknya. Ketentuan ini tampak dalam firman Allah Swt.,
“Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (QS Al-Baqarah[2]: 233)
Suami yang baik dalam perspektif Islam adalah orang yang sungguh-sungguh dalam bekerja demi memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya secara makruf. Ia tidak akan lari dari tanggung jawab ini, apalagi dengan melimpahkan beban nafkah kepada istri atau anak-anaknya. Sungguh besar balasan yang Allah berikan pada suami yang giat bekerja demi memenuhi kewajiban nafkah keluarga.
Rasulullah pernah menyalami tangan Sa’ad bin Muadz ra. Ketika itu kedua tangan Sa’ad tampak kasar. Nabi saw. Lalu bertanya kepadanya, Sa’ad menjawab, “Saya selalu mengayunkan sekop dan kapak untuk mencari nafkah keluargaku.” Kemudian Rasulullah saw. Menciumi tangan Sa’ad seraya bersabda, “Inilah dua telapak tangan yang disukai Allah.” (As-Sarkhasi dalam Al-Mabsuth).
Meski Sejatinya, tanggung jawab mengurus keluarga tidak dapat diserahkan pada satu pihak, ibu atau ayah saja, terutama apabila ayah dan ibu sama-sama harus bekerja dan tidak mudah pula bagi pasangan untuk menyerahkan urusan rumah tangga—terlebih pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya—kepada orang lain.
Namun berbagi peran saja tak cukup, dibutuhkan skill dalam mengelola rumah tangga, ibu Kholda najiah didalam kelas perenting rumah tangga mengatakan bahwa rumah tangga itu butuh skill agama dan skill rumah tangga:
1. Skill agama, Paham soal hak dan kewajiban suami istri sesuai syariah. Berdasar dalil. Ini fix sifatnya. Tidak bisa ditawar.
2. Skill rumah tangga, Disini istri akan lebih dominan ada skill relationship yang harus dibangun bersama, belajar saling mengalah, mau meminta maaf dan memahami kondisi masing-masing, berkomunikasi saling terbuka, mengelola makanan dengan baik, mendidik anak-sesuai syariah diarahkan sesuai fitrahnya, mengatur keuangan, memeneg ego, skill menata hunian agar tercipta kenyamanan serta menjaga kebersihan.
Ini tidak dipelajari di bangku sekolah maupun di kajian rutin. Belum ada sekolahnya dengan kurikulum yang terstruktur. ditengah gempuran sistem sekuler kapitalistik yang mencengkeram keluarga muslim, kadang kala situasi ini tidak selalu berlangsung ideal. Paham liberalisme demikian kuat mengancam keluarga muslim sehingga mau tidak mau orang tua harus berusaha ekstra menyelamatkan pemahaman keluarganya dari gempuran paham kebebasan ini.
Lebih dari itu, tidak ada jaminan pemenuhan kebutuhan primer oleh negara, menjadikan keluarga muslim harus mencari sendiri dana untuk mencukupinya. Terkadang, pendapatan yang diperoleh ayah tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh kebutuhan.
Oleh sebab itu, ini bukanlah problem individu semata, melainkan problem sistemis yang membutuhkan solusi sistemis pula. Sementara itu, sistem sekuler kapitalisme telah terbukti gagal menyelesaikan KDRT, bahkan sistem ini sejatinya merupakan biang terjadinya seluruh problematik.
Sudah terbukti, sistem sekuler kapitalisme menjadi biang terjadinya seluruh persoalan. Sebaliknya, sistem kehidupan Islam nyata terbukti mampu menyelesaikan persoalan manusia. Setidaknya ada dua poin yang bisa kita bahas terkait hal ini.
Pertama, fungsi qawwamah (kepemimpinan) dalam Islam. Nas-nas Al-Qur’an dan Sunah telah menjelaskan hakikat kehidupan suami istri. Islam telah mengatur hak dan kewajiban beserta sifat interaksinya. Allah juga menetapkan fungsi kepemimpinan suami dalam keluarga dengan konsep qawwam, “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri).” (QS An-Nisa’: 34)
Telah jelas dalam ayat tersebut bahwa kepemimpinan (al-qawwamah) merupakan kepemimpinan yang mengatur dan melayani, bukan kepemimpinan instruksional dan penguasaan. Di dalamnya termasuk menafkahi dan memenuhi apa saja yang dibutuhkan. Oleh karenanya, kepemimpinan laki-laki atas perempuan adalah kepemimpinan yang menegakkan urusan-urusan perempuan. (Al-Wa’ie)
Ketika seorang suami melaksanakan dengan benar fungsi tersebut, tentu akan mengantarkan pada ketaatan dan penghormatan dari istri dan anak-anaknya. Inilah yang akan menjauhkan keluarga tersebut dari tragedi KDRT. Bagi suami, istri dan anak adalah penentram hati dan amanah untuk diurusi.
Kedua, penerapan syariat Islam kafah. Jika dicermati, persoalan KDRT ini sejatinya diciptakan oleh sistem kehidupan sekuler kapitalistik. Oleh karenanya, menerapkan Islam kafah harus segera diwujudkan.
Sistem ekonomi Islam harus segera diterapkan agar rakyat sejahtera. Sistem ekonomi Islam akan memfokuskan laki-laki yang bekerja, bukan perempuan. Negara akan memiliki program 0% laki-laki pengangguran, sedangkan fungsi perempuan akan dikembalikan sebagai pengurus anak dan keluarganya.
Begitu pun sistem pendidikan Islam, harus segera diterapkan sebab akidah Islam harus diajarkan kepada anak-anak sedari dini. Hal ini agar setelah mereka balig, mereka mampu menjalankan fungsi qawwamah dan ummun wa rabbatul bait. Begitu pun berbagai sistem lainnya, seperti pergaulan, media, peradilan, dsb., semua harus ditegakkan agar tercipta masyarakat yang islami.
Islam, sebagai din yang sempurna, telah mengatur kehidupan rumah tangga dengan sangat terperinci sehingga terwujud ketenteraman dan kasih sayang di dalam keluarga.
Wallahu a’lam