Oleh : Mira Ummu Tegar (Aktivis Muslimah Balikpapan)
Aksi pembakaran Kitab Suci Al Qur’an kembali terjadi, adalah Rasmus Paludan yang merupakan Politikus sayap kanan asal Swedia melakukan tindakan pembakaran Al Qur’an di Stockholm Swedia pada 21 Januari 2023.
Kasus serupa pun muncul di Belanda sehari setelah pembakaran di Swedia pada Minggu 22 Januari, seorang politisi sayap kanan Belanda bernama Edwin Wagensveld menyobek halaman-halaman Al Qur’an lalu kemudian membakarnya dalam panci yang dilakukan di Den Haag, ibu kota administrasi Belanda.
Aksi pembakaran Al Qur’an oleh Rasmus Paludan merupakan protes atas Turki, dimana Turki belum menyetujui Swedia dan Filandia bergabung dalam kelompok aliansi militer, NATO.
Turki mengatakan Swedia khususnya, harus terlebih dahulu mengambil sikap yang lebih jelas terhadap apa yang dilihatnya sebagai teroris, terutama militan Kurdi dan kelompok yang disalahkan atas upaya kudeta 2016. (Tempo.co. 23/01/2023).
Sejalan dengan Paludan aksi yang dilakukan oleh Edwin Wagensveld pun juga dilatari anti Turki. Insiden tersebut dilakukannya setelah pembakaran Al Qur’an di Swedia mendapatkan izin dan perlindungan dari pengamanan setempat.
Turki menyebut Insiden di Swedia itu sebagai “tindakan provokatif” dari “kejahatan kebencian”.
Kemlu Turki mengatakan “Tindakan keji itu… merupakan pernyataan yang jelas bahwa Islamofobia, diskriminasi dan xenofobia tidak mengenal batas di Eropa”. (Tempo.co 24/01/2023)
Seperti biasa setelah penistaan Islam termasuk pembakaran Kitab Suci Al Qur’an, maka akan banyak kecaman dan kutukan yang ditujukan kepada oknum pelaku dari berbagai negera terutamanya negeri muslim diseluruh dunia.
Dari Indonesia yakni Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu). Dalam keterangaan tertulisnya di Twitter, Minggu 22 Januari 2023, menyatakan “Indonesia mengutuk keras aksi pembakaran Al Qur’an oleh Rasmus Paludan, politis Swedia. Aksi penistaan kitab suci ini telah melukai dan menodai toleransi umat beragama”. Beliau menegaskan, kebebasan berekspresi harus dilakukan secara bertanggung jawab.
Tidak hanya Indonesia beberapa negara Arab termasuk Arab Saudi, uni emira Arab, Qatar, Iran Yordania, Kuwait Pakistan hingga Mesir. Serempak mengecam pembakaran Al Qur’an tersebut.
Al Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang sangat di muliakan, sebagaimana dalam tafsir surah Al Waqi’ah ayat 75-81 dijelaskan oleh ulama Aswaja. K.H. Rohmat S. Labib, bahwa Al Qur’an memiliki empat sifat yaitu mulia, terpelihara, suci dan diturunkan oleh Tuhan alam semesta (Allah SWT).
“Mulia itu suatu kata yang mencakup sifat-sifat terpuji. Al Qur’an mengandung semua kebaikan dan seluruh pujian. Kebaikan itu maknanya tidak bohong, tidak dusta, tidak jelek, dan tidak ada pertentangan di dalamnya.” Jelas Ustadz Labib.
Menurut beliau berbeda dengan buku buatan manusia yang belum tentu benar, dan kemuliaan Al Qur’an juga membantah perkataan orang kafir yaitu Al Qur’an adalah sihir, dongeng orang terdahulu atau perkataan para dukun. Dan dari sifatnya itu menunjukkan yang ada dalam Al Qur’an itu benar bahkan dalam surah Al Waqi’ah ayat 75, Allah SWT memberikan sumpah yang menyatakan kepastian. Oleh karena itu tidak layak meremehkan Al Qur’an,” tegas Ustadz Labib. (muslimahnews.com 28/1/2023)
Demikianlah sekelumit penjelasan ustadz Labib mengenai kemulian dan sifat dari Al Qur’an. Dan tentu ini menjadi keyakinan setiap muslim sehingga baginya memuliakan dan menjaga kemuliaan Al Qur’an sudah seharusnya dilakukan kaum muslim.
Pembakaran Al Qur’an merupakan penistaan terhadap agama Islam dan ini merupakan kebencian yang diperlihatkan orang kafir bahkan sikap ini sejak dulu sudah ada, sayangnya pemimpin kaum muslim saat ini mendiamkan saja sehingga kejadian ini berlarut dan berulang-ulang. Kalaupun ada reaksi itu hanya sebatas kecaman-kecaman dan kutukan-kutukan saja yang realiatasnya tidak ada aksi nyata yang mencegah untuk tidak terjadi hal serupa.
Sistem Kapitalis liberal yang hampir diadopsi seluruh negeri muslim di dunia, menjamin kebebasan berekspresi bagi setiap orang sehingga setiap orang bebas mengekspresikan apapun pemikiran bahkan kebenciannya. Itulah yang kemudian menjadi landasan para pembenci Islam dalam melakukan aksinya. Atas nama HAM mereka berlindung untuk melegalkan aksinya. Hal ini pula yang dilakukan Negara Swedia mengijinkan dan mengamankan aksi tersebut.
Namun sayangnya HAM tidaklah berlaku bagi kaum muslim. Ketika kaum muslim ingin menjalankan keyakinannya untuk taat kepada Rabb-Nya justru diintimidasi bahkan dikriminalisasi. Tengoklah muslimah yang berada di Eropa begitu sulitnya mereka untuk sekedar menutup auratnya yang merupakan perintah Rabb-Nya. Inilah sistem yang saat ini menaungi kaum muslim. Sistem buatan manusia yang jelas sekali berpihak kepada pembuatnya. HAM dibuat hanya untuk kepentingan mereka.
Demikianlah yang terjadi ketika junnah (pelindung) kaum muslim itu tidak ada, yakni Khilafah. Maka akan mudah dan akan selalu berulang penistaan Islam dilakukan oleh pembencinya. Berbeda ketika Khilafah itu ada, maka Dia akan terdepan menjadi pelindung dan penjaga agama ini.
Dikisahkan pada kepemimpinan Khalifah Abdul Majid II pada masa Bani Utsmaniyah, bahwa negara Prancis dan Inggris akan mementaskan teater dimana didalamnya melibatkan Nabi kita,
Rasulullah SAW. Maka mendengar hal tersebut Khalifah Abdul Majid marah, baginya ini adalah suatu penghinaan maka kemudian Khalifah pun mengultimatum dan memperingatkan Prancis dan Inggris. Jika mereka melanjutkan rencana itu maka Khalifah Abdul Majid akan mengobarkan jihad diantara kaum muslim dan saat itu pula pemerintah Prancis dan Inggris membatalkan pertunjukan teater tersebut.
Seperti itu seharusnya pemimpin kaum muslim dalam membela agamanya. Kerena sejatinya keberadaan Khalifah sebagai pemimpin negara Khilafah adalah sebagai pengurus, pelayan dan pelindung bagi umatnya dan agamanya. Sebagaimana hadist Rasulullah SAW, “Sesungguhnya seorang Imam itu adalah (laksana) perisai. Dia akan menjadi perisai dimana orang akan berperang dibelakangnya dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan taqwa kepada Allah Azza wa Jalla, dan adil maka dengannya dia akan mendapatkan pahala. Tetapi jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.’ (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut penjelasan Imam Nawawi makna al-Imam Junnat[un] (Imam/ Khalifah itu laksana perisai) dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim, “sabda Rasulullah shalallahu alayhi wa sallam, “al-imamu junnah” yakni seperti al-sitr (pelindung), karena Imam (Khalifah) mencegah musuh dari perbuatan mencelakai kaum muslim dan mencegah sesama manusia (melakukan kedzaliman), memelihara kemurnian ajaran Islam, rakyat berlindung dibelakangnya dan mereka tunduk dibawah kekuasaannya.
Maka sebagai pelindung dan penjaga Islam. Khilafah akan menindak tegas bagi pelaku penista Islam sesuai syariat Islam. Adapun syara’ menyebutkan apabila pelaku penista dari kalangan orang-orang kafir harbi maka tindakan tegas yang harus dilakukan adalah diperangi atau dibunuh kecuali dia masuk Islam. Sebagaimana bunyi surah Al-Baqarah ayat 193 yang artinya, “Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah dan agama hanya milik Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-orang dzalim”. Dan menurut Imam Al Qurthubi ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan memerangi mereka yaitu para penghina Islam.
Maka ketika junnah itu ada dan hadir ditengah kaum muslim kemudian bertindak tegas sebagaimana tuntunan syariat bagi pelaku penista Islam, adakah mereka para pelaku penista Islam berani melakukan tindakan sama. Maka sudah selayaknyalah urgensitas menghadirkan junnah itu dalam bingkai Khilafah Islamiyyah adalah prioritas kaum muslimin. Wallahu a’lam bishowab.