OPINI  

Opini: Pelecehan Seksual Hingga Radikalisme di Pesantren

Oleh: Ummu Nasrullah
(Anggota Komunitas Literasi WCWH)

Kantor Wilayah Kementrian Agama (Kemenag) Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) memantau pondok pesantren agar tidak disusupi radikalisme dan mencegah terjadinya kekerasan seksual.

Dilansir dari republika.co.id (15/02/2022), Kepala Kemenag Sulbar, Muflih B Fattah, mengatakan bahwa, “Kemenag Sulbar juga akan lebih jeli dalam mengeluarkan izin operasional ponpes dengan memperhitungkan data dan kondisi ponpes, termasuk psikologi karakter pimpinan ponpes, sehingga kedepannya tidak kecolongan lagi, dengan kejadian kekerasan seksual yang dilakukan pimpinan ponpes di Mamuju tersebut,”

Kanwil Kemenag Sulbar juga telah melakukan kerjasama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta pihak terkait untuk melakukan pendampingan trauma healing terhadap santri yang menjadi korban kekerasan seksual pimpinan pondok di Mamuju sehingga korban kembali pulih kondisi psikologisnya dan agar kembali dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Setiap tahun kasus pelecehan seksual di Indonesia terus menerus terjadi. Pelecehan tidak hanya menimpa wanita, namun bisa juga menimpa pria bahkan anak-anak. Pelecahan seksual bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan kepada siapa saja. Masyarakat kapitalis adalah masyarakat sakit, yang salah satu indikatornya adalah ketika kebebasan seksual merajalela tak kenal waktu dan tempat. Masyarakat baru tergerak saat terjadi pelecehan seksual. Apalagi jika pelecehan seksual itu memanfaatkan kondisi yang disebut pegiat gender sebagai relasi kuasa yakni pelecehan seksual yang dilakukan oleh pihak yang memiliki status sosial lebih tinggi dari korban.

Baca Juga  Honorer Dihapus, Betulkah Mengurangi Masalah?

Kejahatan seksual tetap mengintai para perempuan, anak-anak bahkan laki-laki. Tidak hanya terjadi di sekolah dan rumah, bahkan sudah menjalar ke pondok pesantren. Hal ini terjadi karena mereka mengadopsi gaya perilaku dan pemikiran liberal sekuler sehingga setiap orang bebas berbuat sesuai dengan kehendaknya. Ditambah lagi hukuman terhadap pelaku hanya minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun, tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan terhadap korban kekerasan seksual atau pelecehan seksual seperti trauma seumur hidup bahkan kematian.

Kasus pelecehan seksual yang terjadi di pondok pesantren di Mamuju membuat kita geram, pasalnya selama ini pondok pesantren sering kali dianggap sebagai representasi dari ajaran Islam yang murni. Sehingga dengan adanya kasus ini telah mencoreng nama baik pondok pesantren secara umum. Islam memandang, setiap perbuatan yang tercela dan melanggar ketaatan kepada syariat disebut sebagai kejahatan. Termasuk dalam kasus hubungan laki-laki dan perempuan. Setiap kejahatan akan mendapatkan hukuman yang setimpal sesuai aturan sanksi dalam syariat. Dan memastikan hukum itu terlaksana berdasarkan prinsip keadilan termasuk kontrol sosial yang dilakukan sesuai standar Quran dan As-sunnah. Artinya masyarakat akan terusik jika hukum Allah dilanggar tanpa menunggu masalah itu menjadi besar.

Baca Juga  Berulangnya Islam di Nista Karena Junnah Tak Ada

Namun di sisi lain, mengaitkan kekerasan seksual yang terjadi di pesantren dengan radikalisme adalah sesuatu yang berlebihan. Pasalnya para pelaku kekerasan seksual tersebut sama sekali tidak terlibat dalam gerakan radikalisme. Pada umumnya pelaku melakukan kejahatan tersebut lebih karena dorongan pribadi, bukan karena paksaan atau paham radikalisme. Nampak, seolah-olah radikalisme adalah persoalan utama bangsa yang wajib dilawan bersama-sama. Karenanya semua komunitas tidak luput dari program moderasi beragama. Mulai dari anak-anak PAUD hingga kaum intelektual; sejak dari level homeschooling, hingga perguruan tinggi bahkan pesantren.

Publik justru cenderung apriori terhadap semua isu teror dan radikal bahkan cenderung kurang percaya. Apalagi ketika keduanya dikaitkan dengan Islam, yakni melalui kelembagaan atau simbol yang dipandang merepresentasi Islam, seperti madrasah, pesantren, majelis taklim, masjid dan segala hal terkait cara berpakaian atau budayanya. Padahal, tindakan pelecehan seksual maupun kekerasan seksual telah dilarang dalam Islam. Ini sama saja dengan perbuatan zina. Sebagaimana dalam Firman-Nya:

Baca Juga  Opini: Antara Qawwamah dan KDRT

“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan fahisyah (keji) dan jalan terburuk”. (TQS. al Isra: 32)

Menurut Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menafsirkan ayat diatas dengan mengatakan bahwa Allah SWT melarang hamba-Nya berbuat zina dan mendekatinya, yaitu semua faktor dan aspek yang mengantarkan kepada perbuatan zina. Karena zina suatu perbuatan dosa besar dan merupakan seburuk-buruknya jalan dan karakter.

Maka, jelas bahwa kekerasan seksual dan pelecehan seksual termasuk perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan. Sebab, perbuatan ini tidak hanya menghinakan dan merendahkan martabat perempuan. Namun, lebih dari itu yakni adanya trauma seumur hidup, baik secara fisik maupun mental yang akan dialami oleh korban.

Walhasil kekerasan seksual yang notabene adalah kejahatan tidak akan mungkin tertuntaskan selama masih berpegang teguh pada konsep kebebasan bertingkah laku tanpa terikat norma-norma syariat. Wallahu’alam.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *