OPINI  

Indonesia Darurat Korupsi, Apa Solusinya?

Oleh : Saripa

Begitu banyak permasalahan yang ada di negeri ini, terutama dari sisi pemerintahan mampu membelalakkan mata, dimulai dari aturan-aturan RKUHP secara tidak langsung memberikan nafas baru bagi kaum LGBT, lebih-lebih juga mengenai kasus beberapa hakim yang ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka akibat dugaan korupsi.

Mantan hakim agung, Profesor Gayus Lumbuun kembali merespon perkembangan terbaru kasus di MA dengan menggambarkan sebagai, “Indonesia darurat peradaban hukum, hakim-hakim ini adalah ujung tombak dari peradilan.”

Memang banyak kejanggalan hukum yang ada di negeri ini, bagaimana tidak, di dalam diri peradilan saja ternyata tidak menjamin akan terbebas dari korupsi dan nepotisme.

Mereka yang seharusnya memiliki pemahaman untuk memberikan keadilan kepada sesama tanpa memandang kaya atau miskin, tentunya harus mengadili berlandaskan hukum, namun hukum saat ini tidak berlandaskan aturan Allah melainkan hukum buatan manusia yang nyata-nyata memiliki kelemahan dan keterbatasan. Hanya hukum Allah yang mampu memberikan keadilan yang hakiki.

“Korupsi peradilan ini sudah menggurita sejak zaman dulu, bahkan jauh sebelum reformasi 98, ada program reformasi di tubuh MA ketika itu dibuat cetak biru pembaruan MA. Dari cetak biru ada program perbaikan di internal MA, termasuk rekrutmen, pembinaan, pengawasan kelembagaan dan seterusnya. Tentunya pembaruan di MA belum mampu menghilangkan praktik jual-beli perkara,” kata Zaenur Rohman kepada BBC News Indonesia.

Baca Juga  Opini: Adat Bersanding dengan Agama?

Korupsi di Indonesia terbukti sudah sangat parah mengingat aparat lembaga peradilan juga banyak terjerat korupsi. Hal ini menandakan rusaknya sistem hukum di Indonesia. Sedangkan jika kita ingin melihat negara yang bebas dan jauh dari korupsi maka dibutuhkan solusi yang tepat dan orang yang menjalankannya pun harus mempunyai prinsip tanpa ada perbedaan sebagaimana hukum di sistem kapitalisme yang tajam kebawah namun tumpul ke atas.

Hukum untuk para yang punya cuan banyak maka akan kebal hukum, sedangkan mereka yang tidak kuat dari segi materi akan dijerat sesuai dengan hukuman yang ada.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, “OTT itu tidak bagus sebenernya, buat negeri ini jelek banget. Tapi kalau kita digital life siapa yang akan lawan kita?” ujar Luhut dalam acara Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024 di Jakarta, secara daring, Selasa (20/12/2022).

Dari anggapan Menteri koordinator kemaritiman bahwa OTT merusak citra bangsa. Maka pemberantasan korupsi pun laksana mimpi melihat berbagai pembelaan terhadap koruptor. Ini menunjukkan betapa sulitnya memberantas korupsi karena tidak ada efek jera untuk para pelaku korupsi tersebut. Bahkan ketika tertangkap mereka diberikan fasilitas yang lebih baik dibanding dengan orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum lainnya.

Baca Juga  Mengembalikan Peran Santri yang Sesungguhnya Lewat Dakwah Ideologis

M. Isnur menilai, “Dari pernyataan tersebut kita bisa menilai bahwa Pak Luhut itu mentolerir korupsi agar tidak ditindak. Pernyataan ini sangat berbahaya karena bisa menjadi legitimasi untuk orang nggak ditangkap,” kata Isnur. Isnur juga menilai ujaran Luhut membuktikan bahwa politik pemerintahan Jokowi tidak serius dalam upaya pemberantasan korupsi. (tirto.id)

Jika dari aparat yang menegakkan hukum melakukan tindak korupsi, dan tega menzalimi rakyat dengan tipu daya mereka, maka sudah saatnya kita mulai berpikir dan kembali menata sistem hukum yang baik. Inilah bukti rusaknya sistem peradilan, mereka gampang menukar hukum dengan uang. Agar mereka terbebas dari pelanggaran yang mereka lakukan.

Sangat berbeda jauh pada sistem pemerintahan Islam. Aturan Islam diatas segalanya. Bahkan Rasulullah saw bersabda, “jika Fatimah binti Muhammad mencuri maka aku sendirilah yang akan memotong tangannya.”

Begitulah sistem Islam tanpa mengenal nepotisme, bahkan pada masa Umar Bin Khattab ada salah satu gubernur yang melonjak jumlah kekayaannya, kemudian Khalifah memanggil gubernurnya, serta menyuruh untuk mengembalikan sebagian hartanya untuk dibawa ke Baitul Mall. Meskipun hanya Allah mengetahui, kemungkinan terbesar Umar mengetahui bahwa gubernurnya tidak akan melakukan hal demikian.

Namun, dengan ketegasan, kepatuhan dan ketakutan Umar bin Khattab terhadap Azab Allah maka sebagai pemimpin ia harus meminimalisir segala hal yang dapat menjerumuskan dalam lembah dosa.

Baca Juga  Honorer Dihapus, Betulkah Mengurangi Masalah?

Pernah juga ia mendapatkan hewan peliharaan anaknya terlihat gemuk dibanding dengan yang lain, padahal diketahui hewan peliharaan umat kaum muslim itu sama-sama digembalakan di lahan yang sama. Kemudian Umar mengambil kesimpulan bahwa hewan peliharaan anaknya gemuk kemungkinan kaum muslim yang lain mengalah dan membiarkan hewan peliharaan anaknya untuk makan sepuasnya. Akhirnya Umar mengambil keputusan memerintahkan anaknya untuk hanya mengambil modalnya saja, kemudian sebagian lainnya diserahkan ke Baitul Mal.

Begitulah sistem Islam membentuk setiap karakter sosok pemimpin (Khalifah), mereka takut akan azab dan murka Allah, dan tidak akan berani mencoba untuk melanggar setiap aturan Islam yang telah ada. Berbeda dengan aturan dalam sistem kapitalisme yang berasal dari manusia, aturan yang ada seolah-olah ada hanya untuk dilanggar.

Tentunya sistem hukum yang baik hanya berasal dalam Islam. Korupsi adalah kejahatan dan Islam memiliki sistem hukum yang kuat yang akan mencegah terjadinya korupsi dan memberikan sanksi yang membuat jera.

Dalam Islam mencuri akan dihukumi dengan potong tangan, apalagi ketika ada yang mencoba melakukan korupsi, niscaya akan diberikan sanksi sehingga yang pernah melakukan korupsi tidak akan pernah berani melakukan untuk kedua kalinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *